Thursday, 29 May 2014

By : Uswatun Hasanah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, pindahan rumah, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Baru kemudian tahun 1998 muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai.
Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Setelah melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang ditetapkan sebagai anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui Keputusan Presiden tanggal 2 Juli 2005. Dan selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 2005, ketujuh anggota Komisi Yudisial mengucapkan sumpah dihadapan Presiden, sebagai awal memulai masa tugasnya.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan Indonesia?
2.      Apa kedudukan Komisi Yudisial sebagai lembaga yudikatif?
3.      Bagaimanakah pengaruh Komisi Yudisial dalam membangun sistem peradilan yang bersih ?




BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Komisi Yudisial
Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU no 22 tahun 2004 yang berfungsi mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan nama calon hakim agung. Hal ini disebutkan dalam Pasal 2 UU No 22 Tahun 2004 : “ Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya “.
Komisi Yudisial merupakan komisi negara yang bersifat Independen berdasarkan konstitusi atau memiliki constitutional importance. Seperti halnya TNI dan Polri, kewenangan Komisi Yudisial juga diatur di dalam UUD 1945. Namun, karena fungsinya bersifat “penunjang “, maka kedudukan protokolernya tidak dapat disamakan dengan MA, MK, DPR, MPR, Presiden dan Walpres. Komisi Yudisial juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai auxiliary organ terhadap MA.
Kedudukan komisi ini ditentukan oleh UUD 1945 sebagai lembaga negara yang tersendiri karena dianggap sangat penting dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Jika hakim dihormati karena intergritas dan kualitasnya, maka rule of law dapat sungguh – sungguh ditegakkan sebagaimana mestinya Rule of law.

B.     Kedudukan Komisi Yudisial dalam ketatanegaraan Indonesia
                Dasar hukum dibentuknya komisi yudisial adalah pasal 24 b Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan rumusan sebagai berikut:
1)      Komisi yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan,keluhuran martabat,serta perilaku hakim.
2)      Anggota komisi yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
3)      Anggota komisi yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR.
4)      Susunan,kedudukan,dan keanggotaan komisi yudisial diatur dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan pasal 24B ayat (4) UUD 1945,maka dikeluarkanlah UU NO.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.Menurut ketentuan pasal 1 ditegaskan bahwa komisi yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lebih lanjut,dalam pasal 2 ditegaskan,bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.
Dari penegasan diatas dapat diketahui bahwa kedudukan komisi yudisial dalam sturuktur ketatanegaraan indonesia adalah termasuk ke dalam lembaga negara setingkat presiden dan bukan lembaga pemerintahan yang bersifat khusus atau lembaga khusus yang bersifat independen yang dalam istilah lain disebut lembaga negara mandiri(state auxiliary institution) .
Sebenarnya ide perlu adanya suatu komisi khusus untuk menjalankan fungsi-fungsi tetrtentu yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman bukanlah hal yang baru. Dalam pembahasan RUU tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sekitar tahun 1968, setempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitiaan Hakim. Majelis ini berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang berkenaan dengan perangkat, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan atau hukumanjabatan para hakim, yang diajukan oleh Mahkamah Agung maupun Mentri Kehakiman.
C.    Wewenang Komisi Yudisial
1.      Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
2.      Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
3.      Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung;
4.      Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

D.    Tujuan Komisi Yudisial
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh A. Ahsin Thohari, seperti ditulis dalam buku Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan(Jakarta: ELSAM, 2004), di bebarapa negara, Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau lebih dari lima hal sebagai berikut:
1)      Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja.
2)      Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) –dalam hal ini Departemen Kehakiman– dan kekuasaan kehakiman (judicial power).
3)      Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalanpersoalan teknis non-hukum.
4)      Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus.
5)      Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.
Masih menurut A. Ahsin Thohari, tujuan pembentukan Komisi Yudisial adalah:
1)      Melakukan monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja. Monitoring secara internal dikhawatirkanmenimbulkan semangat korps (l’esprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat diragukan.
2)      Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan teknis non-hukum, karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman. Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya.
3)      Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang diperlukan untuk memutus suatu perkara.
4)      Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.
5)      Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekrutmen hakim yang ada.

E.     Tugas Komisi Yudisial
1.      Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
2.      Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
3.      Menetapkan calon Hakim Agung; dan
4.      Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.

F.     Keanggotaan Komisi Yudisial
  1. Komposisi keanggotaan Komisi Yudisial terdiri atas dua mantan hakim, dua orang praktisi hukum, dua orang akademisi hukum, dan satu anggota masyarakat.
  2. Anggota Komisi Yudisial adalah pejabat negara, terdiri dari 7 orang (termasuk Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap Anggota).
  3. Anggota Komisi Yudisial memegang jabatan selama masa 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.


BAB III
KESIMPULAN
Komisi Yudisial merupakan lembaga yang diamanatkan oleh UUD 1945 Republik Indonesia yang memiliki Visi dan Misi, seperti: VISI Komisi Yudisial dinyatakan sebagai berikut: Terwujudnya penyelenggara kekuasaan kehakiman yang jujur, bersih, transparan, dan profesional. Misi Komisi Yudisial dinyatakan sebagai berikut: Menyiapkan calon hakim agung yang berakhlak mulia, jujur, berani dan kompeten. Mendorong pengembangan sumber daya hakim menjadi insan yang mengabdi dan menegakkan hukum dan keadilan. Melaksanakan pengawasan penyelenggara kekuasaan kehakiman yang efektif, terbuka dan dapat dipercaya. Visi dan misi komisi yudisal jelas merupakan suatu usaha atau upaya dalam membangun sistem peradilan yang bersih dan bebas dari mafia hukum.
Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya harus dapat mengambil tindakan yang tegas bagi hakim-hakim tersebut. Kalau bisa hakim yang melakukan pelanggaran demikian diberi sanksi keras supaya menjadi shock terapi bagi hakim lainnya. 
Kedudukan komisi ini ditentukan oleh UUD 1945 sebagai lembaga negara yang tersendiri karena dianggap sangat penting dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Jika hakim dihormati karena intergritas dan kualitasnya, maka rule of law dapat sungguh – sungguh ditegakkan sebagaimana mestinya Rule of law.



Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
Internet :
















No comments:

Post a Comment