By : Uswatun Hasanah
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berawal
pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim
(MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan
akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan
pengangkatan, promosi, pindahan rumah, pemberhentian dan tindakan/hukuman
jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam
undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Baru
kemudian tahun 1998 muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan
solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan
pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan
peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai.
Seiring
dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang
membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan
kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus
2004.
Setelah
melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang ditetapkan sebagai
anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui Keputusan Presiden tanggal 2
Juli 2005. Dan selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 2005, ketujuh anggota Komisi
Yudisial mengucapkan sumpah dihadapan Presiden, sebagai awal memulai masa
tugasnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan Indonesia?
2. Apa
kedudukan Komisi Yudisial sebagai lembaga yudikatif?
3. Bagaimanakah
pengaruh Komisi Yudisial dalam membangun sistem peradilan yang bersih ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Komisi Yudisial
Komisi
Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU no 22 tahun 2004
yang berfungsi mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan nama calon hakim agung.
Hal ini disebutkan dalam Pasal 2 UU No 22 Tahun 2004 : “ Komisi Yudisial
merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan
wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya “.
Komisi
Yudisial merupakan komisi negara yang bersifat Independen berdasarkan
konstitusi atau memiliki constitutional importance. Seperti halnya TNI dan
Polri, kewenangan Komisi Yudisial juga diatur di dalam UUD 1945. Namun, karena
fungsinya bersifat “penunjang “, maka kedudukan protokolernya tidak dapat
disamakan dengan MA, MK, DPR, MPR, Presiden dan Walpres. Komisi Yudisial juga
diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai auxiliary organ terhadap MA.
Kedudukan
komisi ini ditentukan oleh UUD 1945 sebagai lembaga negara yang tersendiri
karena dianggap sangat penting dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat dan perilaku hakim. Jika hakim dihormati karena intergritas
dan kualitasnya, maka rule of law dapat sungguh – sungguh ditegakkan
sebagaimana mestinya Rule of law.
B.
Kedudukan
Komisi Yudisial dalam ketatanegaraan Indonesia
Dasar hukum dibentuknya komisi
yudisial adalah pasal 24 b Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dengan rumusan sebagai berikut:
1) Komisi
yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan
kehormatan,keluhuran martabat,serta perilaku hakim.
2) Anggota
komisi yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum
serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
3) Anggota
komisi yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan
DPR.
4) Susunan,kedudukan,dan
keanggotaan komisi yudisial diatur dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan
pasal 24B ayat (4) UUD 1945,maka dikeluarkanlah UU NO.22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial.Menurut ketentuan pasal 1 ditegaskan bahwa komisi yudisial
adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Lebih
lanjut,dalam pasal 2 ditegaskan,bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga negara
yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur
tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.
Dari
penegasan diatas dapat diketahui bahwa kedudukan komisi yudisial dalam
sturuktur ketatanegaraan indonesia adalah termasuk ke dalam lembaga negara
setingkat presiden dan bukan lembaga pemerintahan yang bersifat khusus atau
lembaga khusus yang bersifat independen yang dalam istilah lain disebut lembaga
negara mandiri(state auxiliary institution) .
Sebenarnya
ide perlu adanya suatu komisi khusus untuk menjalankan fungsi-fungsi tetrtentu
yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman bukanlah hal yang baru. Dalam
pembahasan RUU tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sekitar
tahun 1968, setempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis
Pertimbangan Penelitiaan Hakim. Majelis ini berfungsi memberikan pertimbangan
dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang
berkenaan dengan perangkat, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan
atau hukumanjabatan para hakim, yang diajukan oleh Mahkamah Agung maupun Mentri
Kehakiman.
C.
Wewenang
Komisi Yudisial
1.
Mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan
persetujuan;
2.
Menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
3.
Menetapkan Kode Etik
dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung;
4.
Menjaga dan menegakkan
pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
D.
Tujuan
Komisi Yudisial
Berdasarkan
penelitian yang pernah dilakukan oleh A. Ahsin Thohari, seperti ditulis dalam
buku Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan(Jakarta: ELSAM, 2004), di
bebarapa negara, Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau
lebih dari lima hal sebagai berikut:
1) Lemahnya
monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring
hanya dilakukan secara internal saja.
2) Tidak
adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive
power) –dalam hal ini Departemen Kehakiman– dan kekuasaan kehakiman (judicial
power).
3) Kekuasaan
kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam
menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalanpersoalan teknis
non-hukum.
4) Tidak
adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang
memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus.
5) Pola
rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik,
karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik,
yaitu presiden atau parlemen.
Masih
menurut A. Ahsin Thohari, tujuan pembentukan Komisi Yudisial adalah:
1) Melakukan
monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan cara melibatkan
unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya
monitoring secara internal saja. Monitoring secara internal
dikhawatirkanmenimbulkan semangat korps (l’esprit de corps), sehingga
objektivitasnya sangat diragukan.
2) Menjadi
perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman.
Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus
persoalan-persoalan teknis non-hukum, karena semuanya telah ditangani oleh
Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan
tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan pertanggungjawaban
dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman. Hubungan pertanggungjawaban
ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman yang
membahayakan independensinya.
3) Meningkatkan
efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak
lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum
seperti rekruitmen dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga
peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih berkonsentrasi untuk
meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang diperlukan untuk memutus suatu
perkara.
4) Menjaga
kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi
secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan
inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap
putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi
Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan
mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan
dieliminasi.
5) Meminimalisasi
terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena lembaga yang
mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh
kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan
kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekrutmen hakim yang
ada.
E.
Tugas
Komisi Yudisial
1. Melakukan
pendaftaran calon Hakim Agung;
2. Melakukan
seleksi terhadap calon Hakim Agung;
3. Menetapkan
calon Hakim Agung; dan
4. Mengajukan
calon Hakim Agung ke DPR.
F.
Keanggotaan Komisi Yudisial
- Komposisi
keanggotaan Komisi Yudisial terdiri atas dua mantan hakim, dua orang
praktisi hukum, dua orang akademisi hukum, dan satu anggota masyarakat.
- Anggota
Komisi Yudisial adalah pejabat negara, terdiri dari 7 orang (termasuk
Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap Anggota).
- Anggota
Komisi Yudisial memegang jabatan selama masa 5 (lima) tahun dan sesudahnya
dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
BAB III
KESIMPULAN
Komisi
Yudisial merupakan lembaga yang diamanatkan oleh UUD 1945 Republik Indonesia
yang memiliki Visi dan Misi, seperti: VISI Komisi Yudisial dinyatakan sebagai
berikut: Terwujudnya penyelenggara kekuasaan kehakiman yang jujur, bersih, transparan,
dan profesional. Misi Komisi Yudisial dinyatakan sebagai berikut: Menyiapkan
calon hakim agung yang berakhlak mulia, jujur, berani dan kompeten. Mendorong
pengembangan sumber daya hakim menjadi insan yang mengabdi dan menegakkan hukum
dan keadilan. Melaksanakan pengawasan penyelenggara kekuasaan kehakiman yang
efektif, terbuka dan dapat dipercaya. Visi dan misi komisi yudisal jelas
merupakan suatu usaha atau upaya dalam membangun sistem peradilan yang bersih
dan bebas dari mafia hukum.
Komisi
Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan
wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya harus
dapat mengambil tindakan yang tegas bagi hakim-hakim tersebut. Kalau bisa hakim
yang melakukan pelanggaran demikian diberi sanksi keras supaya menjadi shock
terapi bagi hakim lainnya.
Kedudukan
komisi ini ditentukan oleh UUD 1945 sebagai lembaga negara yang tersendiri
karena dianggap sangat penting dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat dan perilaku hakim. Jika hakim dihormati karena intergritas
dan kualitasnya, maka rule of law dapat sungguh – sungguh ditegakkan
sebagaimana mestinya Rule of law.
Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
Internet :