Thursday, 29 May 2014

By : Uswatun Hasanah

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, pindahan rumah, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Baru kemudian tahun 1998 muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai.
Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Setelah melalui seleksi yang ketat, terpilih 7 (tujuh) orang yang ditetapkan sebagai anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 melalui Keputusan Presiden tanggal 2 Juli 2005. Dan selanjutnya pada tanggal 2 Agustus 2005, ketujuh anggota Komisi Yudisial mengucapkan sumpah dihadapan Presiden, sebagai awal memulai masa tugasnya.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan Indonesia?
2.      Apa kedudukan Komisi Yudisial sebagai lembaga yudikatif?
3.      Bagaimanakah pengaruh Komisi Yudisial dalam membangun sistem peradilan yang bersih ?




BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Komisi Yudisial
Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU no 22 tahun 2004 yang berfungsi mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan nama calon hakim agung. Hal ini disebutkan dalam Pasal 2 UU No 22 Tahun 2004 : “ Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya “.
Komisi Yudisial merupakan komisi negara yang bersifat Independen berdasarkan konstitusi atau memiliki constitutional importance. Seperti halnya TNI dan Polri, kewenangan Komisi Yudisial juga diatur di dalam UUD 1945. Namun, karena fungsinya bersifat “penunjang “, maka kedudukan protokolernya tidak dapat disamakan dengan MA, MK, DPR, MPR, Presiden dan Walpres. Komisi Yudisial juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai auxiliary organ terhadap MA.
Kedudukan komisi ini ditentukan oleh UUD 1945 sebagai lembaga negara yang tersendiri karena dianggap sangat penting dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Jika hakim dihormati karena intergritas dan kualitasnya, maka rule of law dapat sungguh – sungguh ditegakkan sebagaimana mestinya Rule of law.

B.     Kedudukan Komisi Yudisial dalam ketatanegaraan Indonesia
                Dasar hukum dibentuknya komisi yudisial adalah pasal 24 b Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan rumusan sebagai berikut:
1)      Komisi yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan,keluhuran martabat,serta perilaku hakim.
2)      Anggota komisi yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
3)      Anggota komisi yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR.
4)      Susunan,kedudukan,dan keanggotaan komisi yudisial diatur dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan pasal 24B ayat (4) UUD 1945,maka dikeluarkanlah UU NO.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.Menurut ketentuan pasal 1 ditegaskan bahwa komisi yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lebih lanjut,dalam pasal 2 ditegaskan,bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.
Dari penegasan diatas dapat diketahui bahwa kedudukan komisi yudisial dalam sturuktur ketatanegaraan indonesia adalah termasuk ke dalam lembaga negara setingkat presiden dan bukan lembaga pemerintahan yang bersifat khusus atau lembaga khusus yang bersifat independen yang dalam istilah lain disebut lembaga negara mandiri(state auxiliary institution) .
Sebenarnya ide perlu adanya suatu komisi khusus untuk menjalankan fungsi-fungsi tetrtentu yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman bukanlah hal yang baru. Dalam pembahasan RUU tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sekitar tahun 1968, setempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitiaan Hakim. Majelis ini berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran atau usul-usul yang berkenaan dengan perangkat, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan atau hukumanjabatan para hakim, yang diajukan oleh Mahkamah Agung maupun Mentri Kehakiman.
C.    Wewenang Komisi Yudisial
1.      Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
2.      Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
3.      Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung;
4.      Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

D.    Tujuan Komisi Yudisial
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh A. Ahsin Thohari, seperti ditulis dalam buku Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan(Jakarta: ELSAM, 2004), di bebarapa negara, Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau lebih dari lima hal sebagai berikut:
1)      Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja.
2)      Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) –dalam hal ini Departemen Kehakiman– dan kekuasaan kehakiman (judicial power).
3)      Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalanpersoalan teknis non-hukum.
4)      Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus.
5)      Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.
Masih menurut A. Ahsin Thohari, tujuan pembentukan Komisi Yudisial adalah:
1)      Melakukan monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja. Monitoring secara internal dikhawatirkanmenimbulkan semangat korps (l’esprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat diragukan.
2)      Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan teknis non-hukum, karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman. Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya.
3)      Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang diperlukan untuk memutus suatu perkara.
4)      Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.
5)      Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekrutmen hakim yang ada.

E.     Tugas Komisi Yudisial
1.      Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
2.      Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
3.      Menetapkan calon Hakim Agung; dan
4.      Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.

F.     Keanggotaan Komisi Yudisial
  1. Komposisi keanggotaan Komisi Yudisial terdiri atas dua mantan hakim, dua orang praktisi hukum, dua orang akademisi hukum, dan satu anggota masyarakat.
  2. Anggota Komisi Yudisial adalah pejabat negara, terdiri dari 7 orang (termasuk Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap Anggota).
  3. Anggota Komisi Yudisial memegang jabatan selama masa 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.


BAB III
KESIMPULAN
Komisi Yudisial merupakan lembaga yang diamanatkan oleh UUD 1945 Republik Indonesia yang memiliki Visi dan Misi, seperti: VISI Komisi Yudisial dinyatakan sebagai berikut: Terwujudnya penyelenggara kekuasaan kehakiman yang jujur, bersih, transparan, dan profesional. Misi Komisi Yudisial dinyatakan sebagai berikut: Menyiapkan calon hakim agung yang berakhlak mulia, jujur, berani dan kompeten. Mendorong pengembangan sumber daya hakim menjadi insan yang mengabdi dan menegakkan hukum dan keadilan. Melaksanakan pengawasan penyelenggara kekuasaan kehakiman yang efektif, terbuka dan dapat dipercaya. Visi dan misi komisi yudisal jelas merupakan suatu usaha atau upaya dalam membangun sistem peradilan yang bersih dan bebas dari mafia hukum.
Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya harus dapat mengambil tindakan yang tegas bagi hakim-hakim tersebut. Kalau bisa hakim yang melakukan pelanggaran demikian diberi sanksi keras supaya menjadi shock terapi bagi hakim lainnya. 
Kedudukan komisi ini ditentukan oleh UUD 1945 sebagai lembaga negara yang tersendiri karena dianggap sangat penting dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Jika hakim dihormati karena intergritas dan kualitasnya, maka rule of law dapat sungguh – sungguh ditegakkan sebagaimana mestinya Rule of law.



Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
Internet :
















Wednesday, 28 May 2014


DANAU WARNA WARNI DI AMERIKA

 
Fenomena alam memang ngga ada habisnya dan yang lebih mengagumkan lagi, rata-rata selalu terlihat indah dan keren. Nah, ada salah satu fenomena alam yang keren yaitu kolam warna warni “Morning Glory Pool” yang ada di Yellowstone National Park – Wyoming, Amerika. Kolam yang satu ini sampai diberi sebutan kolam “seribu wajah” karena memang penampilannya yang selalu berwarna warni mulai dari biru, hijau, orange, coklat, kuning dan beberapa warna lainnya. 
Karena penampilannya yang unik ini, kini kolam warna warni “Morning Glory Pool” menjadi salah satu tujuan wisata yang wajib untuk dikunjungi. Ngga kurang sekitar 3juta orang setiap tahunnya datang ke kolam ini untuk melihat keindahan warna yang terpancar.. wow.. banyak banget kan? 
Sejarah “Morning Glory Pool”
 Kolam warna warni ini pertama kali ditemukan tahun 1883 oleh En McGowan, Istri dari Inspektur Taman Charles McGowan yang kemudian diberi nama “Morning Glory Pool” dan kemudian menjadi terkenal dikalagan masyarakat. Untuk menjaga kelestarian “Morning Glory Pool” ini, para pejabat pun sampai turun tangan dan melakukan berbagai macam cara agar terhindar dari tindakan yang tidak diinginkan seperti pengrusakan. Nah bagaimana sih bentuk kolam “Morning Glory Pool” ini dulu? Silahkan dilihat beberapa gambar perubahan “Morning Glory Pool” ini.. 
Tahun 1916
 
Tahun 1966
 
Tahun 1970
 
Tahun 2005
 
Tahun 2007
Terbentuknya Kolam Warna Warni “Morning Glory Pool”
Dulu kolam ini tidak berwarna-warni seperti ini, melainkan hanya berwarna biru saja. Penyebab perubahan warna itu dikarenakan adanya sejumlah bakteri yang ternyata menetap di air. Perlu anda ketahui bahwa “Morning Glory Pool” ini sendiri terbentuk karena gempa bumi yang meletus keluar dan akhirnya menjadi mata air panas. 
Bakteri-bakteri perubah warna kolam tersebut muncul akibat ulah manusia sekitar yang sering membuang uang koin (wew buat apaan ya.. mau minta doa?? parah… ), batu, kayu dan bahkan sampah. Barang-barang yang dibuang tersebut jatuh ke dasar kolam dan kemudian menyumbat saluran air panas sehingga kolam yang dulunya panas.. sekarang sudah tidak lagi malah bakteri semakin banyak dan semakin membuat kolam menjadi berwarna.
 
Gak Percaya? 
Silakan Simak Video Ini.
 
[googlemaps https://www.youtube.com/embed/yZcvf2Bw2Ao?rel=0" width="480" height="390" frameborder="0" allowfullscreen="allowfullscreen">
 

NUMBER HEADS TOGETHER METHOD IN TEACHING ENGLISH

                                                      by. Uswatun Hasanah

CHAPTER ONE
Introduction
The cooperative (language) learning (some literatures abbreviate it into CLL) is a method developed by Kagan. This method of organization may require team-building activities for home-groups and topic groups, long-term group involvement and rehearsal of presentation method. This method is very useful in the multi-level class, allowing for both homogeneous and heterogeneous grouping in terms of English proficiency. (Richards, et. al., 1998: 198).
One of our major professional development focuses for our school this year is to increase the amount of cooperative strategies that we use in the classroom. The focus is on increasing student engagement by reducing the amount of teacher talk and replacing it with guided practice that the students perform. We have been focusing on implementing one new strategy a week each time we meet together in our grade level meetings. One strategy that we are currently focusing on is called numbered heads together. In this activity the teacher asks everyone in the group to number off 1-4. After they have numbered off, the teacher then poses a question to the students and everyone spends time thinking and answering the questions independently. After answering time is over, they then can share with each other or the teacher can asks students who have a certain number to share aloud with the whole class.
This cooperative learning strategy promotes discussion and both individual and group accountability. This strategy is beneficial for reviewing and integrating subject matter. Students with special needs often benefit when this strategy is used. After direct instruction of the material, the group supports each member and provides opportunities for practice, rehearsal, and discussion of content material.
Group learning methods encourage students to take greater responsibility for their own learning and to learn from one another, as well as from the instructor (Terenzini & Pascarella, 1994).
Cooperative learning has been shown to increase student achievement, race relations, acceptance of special needs students, and self-esteem (Slavin, 1995).Number Head Together (NHT) is a cooperative learning strategy designed to influence the students interaction pattern and as the alternative for traditional class structure. Number Head Together is one of cooperative learning techniques that developed first by Spencer Kagan (1993) to involve more student in learning material which consist in a lesson and to know their knowledge about the material given.Based on the description above, The Writer is interested in making a paper aboutNumber Heads Together Method In Teaching English”.






                                                      






CHAPTER TWO
NUMBERED HEADS TOGETHER
A. Conceptual Framework
Numbered Heads Together is a cooperative learning strategy that holds each student accountable for learning the material. It is a cooperative learning strategy designed to influence the students interaction pattern and as the alternative for traditional class structure. Number Head Together developed first by Spencer Kagan (1993) to involve more student in learning material which consist in a lesson and to know their knowledge about the material given.
Students are placed in groups and each person is given a number (from one to the maximum number in each group). The teacher poses a question and students "put their heads together" to figure out the answer. The teacher calls a specific number to respond as spokesperson for the group. By having students work together in a group, this strategy ensures that each member knows the answer to problems or questions asked by the teacher. Because no one knows which number will be called, all team members must be prepared.
This is a flexible strategy that can be used at a variety of levels. The teacher may start with factual information questions, and as students become more familiar with the strategy, ask questions that require analysis or synthesis of information. Student groups can be given statements such as, "School uniforms help to keep students focused on academics." Students' task is to come to consensus on whether they agree or disagree, giving an explanation of their reasoning.
After the students respond, have the other groups agree or disagree with the answer by showing a thumbs up or thumbs down, and then explain their reasoning. Or, if the answer needs clarifying, ask another student to expand on the answer.
The structure of Numbered Heads Together is derived from the work of Spencer Kagan. There are a number of variations on the method, some very simple and others with a greater degree of complexity. This structure can be used in conjunction with ‘Think, Pair, Share’ early in the development of the Co-operative Classroom. learning with spellings.        
            The purpose of this technic is to processing information, communication, developing thinking, review of material, checking prior knowledge. The relevant skills are sharing information, listening, asking questions, summarising others’ ideas, talking quietly.
B.  The Numbered-Heads-Together (NHT) Strategy
Numbered Heads Together is a cooperative learning strategy that holds each student accountable for learning the material. Students are placed in groups and each person is given a number (from one to the maximum number in each group). The teacher poses a question and students "put their heads together" to figure out the answer. The teacher calls a specific number to respond as spokesperson for the group. By having students work together in a group, this strategy ensures that each member knows the answer to problems or questions asked by the teacher. Because no one knows which number will be called, all team members must be prepared.
This cooperative learning strategy promotes discussion and both individual and group accountability. This strategy is beneficial for reviewing and integrating subject matter. Students with special needs often benefit when this strategy is used. After direct instruction of the material, the group supports each member and provides opportunities for practice, rehearsal, and discussion of content material. Group learning methods encourage students to take greater responsibility for their own learning and to learn from one another, as well as from the instructor (Terenzini & Pascarella, 1994).

STEPS                                            
  1. Number off the students in each group, up to four. If one group is smaller than the others have no. 3 answer for no. 4 as well. The teacher can give numbers or students can give numbers themselves.
2.      Teacher asks the students a question or sets a problem to solve. It must be stressed that everyone in the group must be able to participate and answer the question.
3.      Ensure enough ‘wait time is given for the group to do the task.
There is an expectation that everyone in the group will be able to answer the question following the  discussion.
Kagen suggests the teacher phrases questions beginning with; “put your heads together and…” or “Make sure you can all…” There are many other ways of ensuring the teacher cues the students into the collaborative activity.
The students work together. They quite literally “put their heads together” in order to solve the problem and also 
ensure that everyone in the group can answer the question.
·  The teacher now asks for an answer by calling a number. (this might be at random or can initially decided by the teacher in order to ensure the process is successful) The students with the number called then take it in turns to answer. 
·  If there are not enough students ready to respond the teacher may judge that a little more time 
·  is needed or extra support given.
·  When the teacher is satisfied answers can be taken, there are a number of choices:
·  Select one student.
·  Select one but ask others to elaborate, comment etc.
·  Ask different students to give a particular part of the answer
These are all sequential responses. The teacher can also use what Kagen describes as simultaneous answers:
·  All students showing their work.
·  Students using whiteboards to show their group work.
The game leads your class through a series of steps designed to promote
learning through cooperation, active participation, and individual accountability.
Here are the steps for each randomly-selected question:
1. Think Time. Everyone thinks how to answer the question. No talking.
2. Write Answer. Everyone privately writes his/her own answer on his/her own sheet of    paper or response board.
3. Heads Together. Teammates put their heads together and share their answers. They reach consensus on a team answer and discuss and teach if necessary so every knows the answer or knows how to solve theproblem.      
4. Who Answers? Using the game’s Student Selector spinner, one student on each team is selected. All selected students stand, ready to answer independently. They may no longer consult with teammates.
5. Answer Question.The teacher decides how to have students answer thequestion. Here are some options:
• Standing students all show their response boards.
• Teacher calls on one standing student to share answer aloud.
• Teacher calls on multiple standing students to share.
• Students use response cards or fingers for True/False or
   Multiple Choice questions.
• Teacher has the selected team representative solve
   a similar problem.
C.  Some Variation in Using NHT
·         Thumbs up: after a student responds, the teacher can have the others who are standing agree or disagree with a thumbs up or thumbs down.
·         Shared Responses: in a multiple part answer, the teacher can have students from different teams each give a part of the response.
·         Simultaneous response: All students responding can simultaneously give the answer on the count of three.
·         Blackboard response: All students responding can write the answer on the chalkboard or on a team slate.

D. Main Skills Emphasis
Numbered heads togetheralways Using In two skill in english. The skills are Writing and Reading
v  Reading/English
Comprehension questions can be posed to groups, and students can work together to find the answers. For example, when reading a story, students can be given the task of analyzing one of the characters. They can be asked questions such as, "Which character traits are stated directly, and which are implied by the author?" and "What information do you get from the character's speech and actions?"
v  Writing                        
Students can evaluate the quality of a piece of writing using a rubric. Have students review the writing as a group and assign scores as a group. Ask them to respond with their scores and rationale using the numbered heads together strategy.
E. Advantages and disadvantages of NHT
v  ADVANTAGES
NHT technique has several advantages.First, it can improve students’ academic achievement and be applied to almost all subject areas. According to Lai (in Yeh, 2004) cooperative learning strategies including NHT technique is helpful in fostering the four language skills, strengthening grammar and vocabulary power, and improving English competence. Second, it can increase students’ engagement. Third, it decreases dominance from clever students so that students’ equal participation will be apparent. Since students have to answer the questions, all students including the shy or weak ones should participate in reporting the answer. Fourth, it motivates students to learn. NHT can motivate students since the technique has the sense of competition and fun for students. Besides, students will be motivated because they are helped by their teammates. Being motivated, students will participate actively during the lesson. Fifth, it encourages peer tutoring from smart students who know the answer to other team members who do not. Having to tutor peers and receive peer-tutoring renders the exchange of information much more dynamic than rote memorization and individual textbook work (JALT presentation 2006 in Backwell, 2006).
v  DISADVANTAGE
There is no control over the composition of the group. Groups may or may not be equal or desirable.
Group outcomes will vary widely. Students of all abilities will miss the opportunity to work with some students. It can create a climate of haves and have-nots. High ability students lose the opportunity to be leaders to some degree, and lower ability students lose the contribution and modeling of the high ability students.Higher ability students may not experience the stimulation or challenge that they would with other higher ability students. Lower ability students may feel perpetually in need of help rather than experiencing the role of leader or expert relative to the others in their group (Rubin, 2003). More complicated and requires a significant amount of analysis to apply.
Products may lack evidence of other types of thinking. Creative groups may lack practical ideas for execution. Practical groups may lack creative energies that would help generate ideas.














CHAPTER THREE
CONCLUSIONS
The cooperative (language) learning (some literatures abbreviate it into CLL) is a method developed by Kagan. This method of organization may require team-building activities for home-groups and topic groups, long-term group involvement and rehearsal of presentation method. This method is very useful in the multi-level class, allowing for both homogeneous and heterogeneous grouping in terms of English proficiency. (Richards, et. al., 1998: 198). Number Head Together is one of cooperative learning techniques that developed first by Spencer Kagan (1993) to involve more student in learning material which consist in a lesson and to know their knowledge about the material given. NHT emphasis on writing and reading skills of English.
              Numbered Heads Together’ is an excellent structure for combining Learning Partnerships into groups or teams of four. It can be used early in the development of the ‘co-operative classroom’ and as with ‘Think, Pair, Share’ offers a high degree of engagement but slightly higher order interpersonal and small group skills are needed.
The important concept of ‘wait time’ is incorporated and allows all children to develop answers. Answers will have reasons and justifications because they have been thought about and discussed. Students are more willing to take risks and suggest ideas because they have already ‘tested’ them within their group. This structure can also be combined successfully with ‘Check and Coach’.


Reverence

Alderson, J. Charles, Assessing Reading, Cambridge: Cambridge University Press, 2000

Farris, Pamela J., et.al., Teaching Reading: A Balanced Approach For Today’s Classrooms, New York: McGraw Hill, 2004.

Maheady, L., Mallette, B., Harper, G., Sacca, K. (1991). Heads Together: A Peer-
Mediated Option for Improving the Academic Achievement of Heterogeneous
Learning Groups. Remedial and Special Education. 12(2), 25-33.
Internet